Idealnya, semua perusahaan-apapun bidangnya-harus menerapkan sustainable business atau bisnis berkelanjutan. Di mana implementasinya tak sekadar menjadi perusahaan yang “ramah lingkungan”.
Untuk menjadi bisnis yang berkelanjutan, maka suatu perusahaan mesti menerapkan prinsip dasar ESG. Yakni enviromental (lingkungan), social (sosial) dan governance (tata kelola).
Di Indonesia, East Ventures menjadi perusahaan modal ventura pertama yang menandatangani United Nations Principles for Responsible Investment (UNPRI). Di mana East Ventures harus memastikan bahwa setiap investasi yang mereka lakukan telah mengindahkan prinsip ESG.
“Fokus UNPRI itu banyak memasukkan ESG dalam analisa, mulai dari skrining, review perusahaan, sampai investment decision (keputusan berinvestasi),” kata Avina Sugiarto, Partner of East Ventures saat berbicara dalam siniar CEO TALKS Edisi ke-3: Dukung Akselerasi Bisnis Berkelanjutan.
Avina mengatakan, belakangan semakin banyak founder startup yang mulai memahami apa itu ESG. Meski tak semuanya memasukkan ESG itu secara tertulis dalam proposal bisnis mereka.
Bahkan, beberapa perusahaan yang didanai oleh East Ventures telah lama menerapkan prinsip itu dalam bisnis mereka. Bahkan, menjadikan ESG sebagai core business (inti bisnis) mereka.
Avina mencontohkan Waste4Change. Startup yang berdiri sejak 2014 ini punya misi untuk mengurangi jumlah sampah di tempat pembuangan akhir (TPA). Yakni lewat pemilahan dan pendaurulangan sampah. “Mereka (Waste4Change) sudah mengolah 8.400 ton sampah,” kata lulusan The Stanford Graduate School of Business ini.
Startup berikutnya yang dinilai berhasil menerapkan ESG dan memberikan dampak luas adalah Aruna. Yakni startup yang bergerak di bidang perdagangan produk perikanan.
“Saat ini, Aruna telah menjangkau 150 desa nelayan dengan 26 ribu nelayan. Berkat Aruna, penghasilan nelayan bisa meningkat 3-12 kali lipat dari sebelumnya,” jelasnya.
Lewat platform yang mereka miliki, Aruna menjadi semacam jembatan bagi nelayan untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Dampak sosialnya pun tak hanya sebatas dirasakan oleh para nelayan. Tapi juga oleh keluarga nelayan. Terutama istri mereka.
“Aruna bekerja sama dengan istri-istri nelayan untuk meningkatkan nilai tambah dari produk perikanan. Misalnya dari kepiting hasil tangkapan itu dibersihkan dulu, agar harganya bisa lebih tinggi untuk pasar ekspor,” jelasnya.
Sejumlah desa nelayan juga berhasil menerapkan zero waste, yakni tak menyisakan sampah sedikitpun dari ikan-ikan yang diolah. “Kulit-kulit kepiting dan udang (yang biasanya dibuang) bisa diproses untuk pakan ternak,” kata dia.
Lewat apa yang dilakukan, Aruna bisa memberi dampak lebih luas lagi bagi Indonesia. Apalagi bila rencana mereka, untuk memperluas cakupan hingga 500 desa nelayan bisa terealisasi dalam waktu dekat ini.
Avina berharap, apa yang dilakukan Waste4Change maupun Aruna bisa menginspirasi founder startup lainnya, baik yang sudah berjalan, bahkan didanai oleh East Ventures, maupun yang baru memulai.
Implementasi ESG membuat startup punya kans lebih besar untuk “bertahan lebih lama”. Tidak menjadi startup yang cepat meroket, tapi pada suatu titik malah gulung tikar.
Startup, kata Avina tak boleh hanya sekadar mengejar valuasi maupun keuntungan saja. “Keuntungan dan berkelanjutan (beriringan) untuk jangka panjang,” jelasnya.
East Ventures membuka pintu lebar-lebar kepada startup yang punya atensi lebih pada ESG. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi, East Ventures akan melihat secara menyeluruh. Tidak hanya terbatas pada potensi keuntungan yang bisa diraih, tapi juga seperti apa dampaknya bagi masyarakat dan lingkungan.
“Kami mendukung founder yang memiliki passion terhadap apa yang mereka lakukan,” kata dia.
Sebuah startup bisa berhasil bila mampu membaca pasar dan melihat problemnya. Semakin besar masalah, dan semakin besar pasarnya, maka peluang bagi startup untuk terus eksis dan berkembang semakin besar.
Apa yang dicapai Aruna adalah contoh dari kemampuan startup membaca “masalah” dan melihat “pasar”. Bisnis Aruna berangkat dari masalah besar yang dialami nelayan. Mulai dari sulitnya menjangkau pasar lebih luas, serta menjual hasil perikanan dengan harga yang lebih layak.
Di sisi lain, pangsa pasar produk perikanan sejatinya sangat besar. Apalagi untuk negara-negara yang konsumsi ikannya tinggi, seperti China dan Jepang.
Lalu, bisnis pemilihan-pengolahan sampah seperti yang dijalankan Waste4Change sejatinya bisa direplikasi karena pasarnya yang begitu luas. “Penduduk Indonesia ada 270 juta jiwa. Dari jumlah itu, segmen (masyarakat) yang sudah memilah-milah sampah masih kecil,” kata dia.
Demi membangun ekosistem bisnis berkelanjutan yang lebih bagus, East Ventures tidak bisa bekerja sendirian. “Kolaborasi itu penting, antara pelaku bisnis, investor dan pemerintah,” kata dia.
Avina pun percaya bahwa Indonesia memiliki banyak potensi besar untuk menjadi negara yang jauh lebih baik dari hari ini. “Meminjam kata IMF (International Monetary Fund), Indonesia ini seperti titik terang benderang di antara kesuraman di dunia,” katanya.
*Materi selengkapnya dari CEO TALKS Edisi ke-3 ini bisa anda saksikan melalui situs web kompas100.kompas.id atau klik link berikut https://youtu.be/tCKtNUjQkO0