Kreativitas itu Butuh Empati dan Berani

Saat ini, banyak orang yang membicarakan soal industri kreatif. Sebuah industri, yang katanya lebih tahan banting menghadapi situasi ekonomi seburuk apapun. Tapi, bagaimana caranya masuk ke industri itu? Juga, pertanyaan paling mendasar: bagaimana cara menjadi kreatif?

Sonny Agustiawan, Manager Program S1 Business Universitas Prasetiya Mulya menyebut ada empat hal yang bisa dilakukan untuk memancing kreativitas. 

Hal pertama adalah empati. “Empati itu penting. Dengan empati kita bisa memahami permasalahan di sekitar kita. Lalu mendorong kita mencari solusinya,” kata Sonny, saat berbicara dalam Rangkaian Kompas100 CEO Forum ke-13 Powered by East Ventures: CEO on Stage Prasetya Mulya Sesi 1 yang didukung oleh Ruparupa, di Universitas Prasetiya Mulya, Selasa (18/10/2022). 

Kemudian, yang kedua adalah keberanian. Mencakup keberanian untuk tampil beda, hingga keberanian menghadapi cemoohan orang lain. 

Sonny Agustiawan, Manager Program S1 Business Universitas Prasetiya Mulya memaparkan soal “Honing Creative Thinking Skill”

“Intinya adalah berani mencoba. Karena tanpa mencoba, kita tidak akan pernah tahu,” ujar Sonny dalam seminar yang mengangkat tema “Unlocking Creative Economy Opportunities” itu. 

Lalu yang ketiga adalah selalu berpikiran positif. Sekaligus membuat hal-hal negatif yang biasanya muncul ketika akan memulai proses kreatif. 

Keempat, yang tak kalah penting adalah belanja ide. “Kita harus melihat apa yang sedang tren. Apa yang sedang bagus. Amati, tiru, lalu modifikasi. Kreativitas itu akan bertumbuh sesuai kebiasaan,” katanya. 

Lebih lanjut, Sonny melihat, kreativitas, ide-ide bisnis yang cemerlang biasanya lahir dari orang-orang yang “struggle” dan lebih banyak berasal dari kalangan ekonomi bawah. 

“Banyak orang dari ekonomi bawah yang bisa keluar dari ke-struggle-annya. Jadi, gak usah takut. Yang penting dicoba saja dulu,” kata peraih gelar Master of Strategic Management dari Universitas Indonesia (UI) ini. 

Lalu, bagaimana bila ujung-ujungnya adalah kegagalan?

Memang, setiap usaha, atau kreativitas yang dimunculkan tak selalu meraih hasil yang manis. Bahkan, kegagalan menjadi hal yang kerap terjadi. 

Tapi, risiko kegagalan itu sejatinya bisa diminimalisir. “Itulah fungsi pengetahuan. Gak harus dengan kuliah. (pengetahuan bisa diperoleh) dari obrolan, Youtube. Kita harus mengisi otak kita dengan pengetahuan,” jelasnya. 

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Paulina Purnomowati, CEO TipTip, sebuah platform bagi konten kreator menyebut bahwa industri kreatif punya prospek yang cerah. 

Tidak harus go international, konten kreator bisa memanfaatkan begitu luasnya pasar di dalam negeri. “Bisa kita lihat dari jumlah penduduknya, penetrasi internet. Banyak sekali market-nya di Indonesia,” ujar Paulina. 

Sebagai informasi, mengacu Sensus Penduduk 2020 mencapai 273,5 juta jiwa. Sementara menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia pada kuartal 1-2022 mencapai 210 juta jiwa. 

Dengan kata lain, 76 persen penduduk Indonesia adalah pengguna internet. Membuat Indonesia masuk dalam daftar lima besar negara dengan pengguna internet terbanyak. 

Tak heran bila konten-konten dari Indonesia acapkali masuk dalam daftar trending topic dunia di Twitter, maupun masuk for your page (FYP) Tiktok. 

CEO TipTip Paulina Purnomowati menjelaskan soal pentingnya kreativitas di era digital.

Tapi pertanyaannya, apakah konten-konten yang disuguhkan dan dikonsumsi itu seluruhnya baik, atau berkualitas?

Sayangnya tidak. Kebanyakan yang trending itu adalah konten-konten tak bermutu. “Hanya sebatas (mengejar) like, comment. Hanya untuk publisitas, engagement,” ujar perempuan yang pernah masuk lima finalis The Apprentice ONE Championship ini. 

Konten-konten berkualitas dari Indonesia bukannya tidak ada. “Tapi sayangnya, mereka yang kontennya beneran (berkualitas) itu, views-nya tidak banyak,” jelasnya. 

Itulah yang menjadi perhatian TipTip. “Platform kami seperti marketplace. Menghubungkan kreator dengan supporter,” ujar dia. 

TipTip merangkul konten kreator yang followers-nya di media sosial mainstream tidak banyak, tapi mampu menghasilkan konten-konten berkualitas. 

“Kami membantu mereka memonetisasi kontennya. Tidak peduli berapapun followers-nya, views-nya,” pungkas Paulina. 

Sementara itu, Devina Halim, Principal at East Ventures mengatakan bahwa, perusahaannya memberi perhatian khusus pada ide-ide kreatif. Sebagai perusahaan modal ventura, keputusan berinvestasi seringkali terjadi setelah melihat adanya ide kreatif. 

“Kami berinvestasi pada TipTip ketika CEO-nya hanya bermodalkan ide. Belum ada legalnya, belum ada PT-nya. Kami suka idenya, kami melihat potensi pasarnya besar, jadi kami memutuskan untuk mendanai,” ujarnya. 

Jauh sebelum TipTip, situasi yang hampir sama dihadapi East Ventures ketika memutuskan untuk berinvestasi pada Tokopedia. Itu terjadi di tahun 2010. 

“Saya ingat, itu zamannya BBM (Blackberry Messenger). Ketika itu, penetrasi internetnya kurang dari 20 persen,” ujar dia. 

Pada waktu itu, marketplace masih menjadi hal yang baru. Tidak banyak orang yang mengenal marketplace, apalagi bertransaksi di sana. 

Dengan kata lain, keputusan East Ventures mendanai Tokopedia merupakan sebuah perjudian. Tidak ada yang bisa memprediksi secara akurat bahwa Tokopedia bisa menjadi unicorn seperti saat ini. 

“Tapi kami percaya. Investasi pertama kami ke Tokopedia tidak melulu soal keuntungan,” kata dia. 

East Ventures percaya bahwa internet bisa memberi akses kepada semua orang. “Dengan akses internet, orang di Papua bisa menjual barang kepada masyarakat yang lebih luas,” ujarnya. 

 

*Materi selengkapnya dari Rangkaian Kompas100 CEO Forum ke-13 Powered by East Ventures: CEO on Stage Prasetya Mulya Sesi 1 yang didukung oleh Ruparupa bisa Anda saksikan dengan meng-klik link https://youtu.be/uKf5emL_apk