Transisi ke Energi Terbarukan, Indonesia Jangan Sampai Ketinggalan

KOMPAS – Bagi sebuah negara, energi, di samping pangan, menjadi isu yang vital. Pertanyaan besar yang kerap muncul: sampai kapan kita bergantung pada energi fosil?

Sejarah mencatat, pemanfaatan bahan bakar fosil sebagai energi secara efektif dimulai sejak abad ke-15. Di mana masyarakat Eropa menggunakan batu bara sebagai bahan bakar untuk pemanas rumah mereka.

Lalu, pemanfaatan batu bara dan minyak bumi secara lebih masif dimulai sejak pertengahan abad ke-18. Tak hanya sebagai bahan bakar bagi pemanas rumah, tapi juga menyokong kebutuhan industri.

Sayangnya, energi fosil hadir tak hanya dengan sisi positifnya. Tapi juga membawa hal negatif. 

Penggunaan bahan bakar fosil telah meningkatkan kadar emisi di udara. Mengacu laporan dari International Energy Agency (IEA), emisi karbon dioksida atau CO2 cenderung naik dari tahun ke tahun.

Tahun 2021, emisi CO2 mencapai 33 gigaton setelah di tahun sebelumnya sempat turun di angka 31,5 gigaton sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Sebagai perbandingan, pada tahun 1990, emisi CO2 secara global berada di angka 20,5 gigaton.

Meningkatnya emisi karbon menjadi penyebab berbagai masalah di bumi dalam beberapa dasawarsa belakangan ini. Mulai dari meningkatnya suhu permukaan bumi, hingga munculnya penyakit-penyakit yang berkaitan dengan pernapasan dan kardiovaskuler.

Berbagai masalah itu mendorong banyak negara untuk melakukan transisi energi. Dari energi fosil ke energi terbarukan (renewable energy).

Berdasarkan laporan Our World in Data, sejak 1965, penggunaan hydropower (pembangkit listrik tenaga air), pembangkit tenaga angin dan matahari terus meningkat. Dari semula hanya 941 terawatt per jam di tahun 1965 menjadi 7.931 terawatt per jam di tahun 2021.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan bahwa dunia harus sesegera mungkin mengakhiri penggunaan energi fosil. “Kita harus mempercepat transisi energi sebelum membakar satu-satunya rumah kita,” kata Guterres, seperti dilansir Associated Press, Mei lalu. 

PBB telah memaparkan beberapa rencana mereka untuk mendorong transisi energi itu. Di antaranya mendorong transfer teknologi yang disertai dengan perlindungan atas hak kekayaan intelektual atas penemuan teknologi energi terbarukan.

Lalu, Guterres ingin memperluas rantai pasokan bahan baku untuk pembuatan/pembangunan energi terbarukan yang selama ini terkonsentrasi di negara-negara besar.

PBB juga mendorong negara-negara untuk mengalihkan subsidi energi fosil yang saat ini sudah mencapai setengah triliun dolar AS kepada program energi terbarukan.  

Dia pun berharap, investasi untuk proyek energi terbarukan bisa meningkat ke angka 4 triliun dolar AS per tahun. Baik investasi yang dilakukan pemerintah maupun swasta.

Bagi Indonesia, transisi energi dari fosil ke energi terbarukan yang bebas emisi mutlak dilakukan. Sebab, cepat atau lambat bahan bakar fosil pasti akan habis. “Tanpa penemuan cadangan yang baru, minyak bumi di Indonesia akan habis sembilan tahun ke depan, gas bumi habis 22 tahun lagi, dan batu bara habis 65 tahun mendatang,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif beberapa waktu lalu.

“Transisi energi mutlak diperlukan untuk menjaga ketersediaan dan ketahanan energi Indonesia di masa mendatang,” ujar dia.

Penggunaan energi fosil selama ini dinilai membebani keuangan negara. Apalagi, pemerintah harus mengeluarkan anggaran besar untuk subsidi demi menjaga stabilitas harga bahan bakar fosil.

Untuk subsidi BBM dan elpiji saja, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 77,5 triliun pada APBN 2022. Lalu, subsidi itu ditambah sebesar Rp 71,8 triliun pada Perubahan Postur APBN 2022.

Sebagai perbandingan, pada 2019, pemerintah “hanya” mengeluarkan Rp 41,1 triliun untuk subsidi BBM. Itu belum termasuk subsidi dan kompensasi untuk energi listrik. Di mana mayoritas pembangkit listrik di tanah air masih menggunakan bahan bakar fosil.

 

Strategi Percepat Transisi Energi

KOMPAS/PRIYOMBODO
Foto udara PLTS Pulau Messah, Manggarai Barat, NTT.

 

Kementerian ESDM punya beberapa rencana untuk mempercepat transisi energi. Di antaranya dengan membangun pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan.

Indonesia, kata Tasrif, memiliki potensi sumber energi terbarukan sebesar 417.800 megawatt (MW). Di mana potensi terbesarnya ada pada tenaga surya, mencapai 207.800 MW. Sisanya, ada pada bioenergi, panas bumi, angin, dan gelombang laut.

Dari total potensi itu, yang sudah termanfaatkan baru sekitar 10.400 MW.

Penggunaan energi terbarukan diyakini akan memicu multiple effect (efek berganda). Tak hanya sebatas mengurangi emisi CO2.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR), pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) paling mudah dilakukan di Indonesia. Realisasi pembangunan bakal menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Untuk proyek PLTS berkapasitas 1.000 MW, membutuhkan investasi sebesar Rp 15 triliun. Di mana 30 persennya digunakan untuk membayar upah pekerja. Satu proyek PLTS itu setidaknya membutuhkan 20 ribu pekerja baru. 

PLTS berkapasitas 1.000 MW bisa dimanfaatkan untuk mendistribusikan listrik ke 660 ribu unit rumah. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan IESR, keberadaan 1 PLTS saja bisa membuat pemerintah menghemat subsidi listrik sebesar Rp 727 miliar per tahun. 

Hingga akhir tahun 2021 saja, kapasitas pembangkit listrik di Indonesia mencapai 73 ribu MW. Di mana separuh dari kapasitas itu disumbang oleh PLTU. 

Bayangkan, seperti apa dampaknya bila separuh dari kapasitas produksi listrik itu disumbang oleh PLTS? Artinya, butuh 36 PLTS untuk memenuhinya. 

Andai terealisasi, berapa triliun rupiah dana subsidi yang bisa dihemat? Berapa ribu tenaga kerja yang bisa diserap? 

Tapi, pastinya butuh strategi yang tepat agar proyek pembangunan pembangkit listrik ramah lingkungan bisa berjalan efektif. 

Seperti apa strategi terbaru dari pemerintah dan pihak terkait seputar energi bisa dilihat pada gelaran Kompas100 CEO Forum 2022 Powered by East Ventures yang berlangsung mulai bulan ini hingga Desember 2022.

Salah satu rangkaian acaranya adalah CEO Live Series. Di mana pada 22 November mengangkat tema “Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) & Ekonomi Hijau”.