Di tengah situasi geopolitik dunia yang tidak menentu akibat konflik Rusia-Ukraina, serta efek lanjutan dari COVID-19, tingginya angka inflasi menjadi sebuah keniscayaan. Bahkan, Bank Dunia telah mengingatkan bahwa ada kondisi yang lebih buruk: stagflasi.
Peringatan itu disampaikan Bank Dunia melalui laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2022. Di mana ekonomi global diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 2,9 persen. Lebih rendah ketimbang 2021 yang mencapai 5,7 persen.
“Perang di Ukraina, lockdown di China, gangguan rantai pasokan dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari,” kata Presiden Bank Dunia David Malpass dalam keterangan tertulisnya.
Apa itu stagflasi? Seburuk apa? Dan seberapa besar kemungkinan Indonesia mengalaminya?
Menurut World Economic Forum, stagflasi adalah periode ketika pertumbuhan ekonomi melambat disertai tingginya angka pengangguran terjadi bertepatan dengan kenaikan inflasi. Belakangan, stagflasi menjadi salah satu istilah yang banyak dicari di Google.
Tapi, meski begitu, istilah stagflasi sudah lama muncul. Meski tak selalu digunakan pada kondisi yang seharusnya masuk dalam kriteria stagflasi.
Anggota Parlemen Inggris Iain Macleod diyakini sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah stagflasi. Yakni ketika pada 1965 dia berbicara pada suatu forum. “Kita sekarang mengalami yang terburuk dari kedua dunia—bukan hanya inflasi di satu sisi atau stagnasi di sisi lain, tetapi keduanya bersama-sama. Kami memiliki semacam situasi ‘stagflasi’.” kata Macleod seperti dilansir Wall Street Journal.
Setelah itu, di era 1970-an, istilah stagflasi banyak digunakan. Terutama di Amerika Serikat. Yakni ketika terjadi antrean panjang di banyak pom bensin, di saat harga bahan bakar sedang tinggi-tingginya kala itu.
Dalam periode itu, tingkat pengangguran di Amerika Serikat melesat 9 persen.
Stagflasi mereduksi daya beli konsumen. Dan ketika daya belinya melemah, maka itu bisa memengaruhi sektor usaha. Karena itulah, angka pengangguran bisa begitu tinggi.
Melihat situasi global beberapa waktu belakangan, sejumlah negara sangat mungkin mengalami stagflasi. Di antaranya Turki yang sampai saat ini belum mampu keluar dari jurang resesi.
September lalu, Turki mengalami inflasi sebesar 83,45 persen. Lebih tinggi dari bulan Agustus yang sebesar 80,21 persen.
Ancaman stagflasi juga tengah menghantui Amerika Serikat yang pada Juni lalu mengalami inflasi sebesar 9,1 persen. Itu menjadi yang tertinggi sejak 1981.
Semenjak pandemi merebak, Amerika Serikat menjadi begitu “akrab” dengan inflasi. Di mana inflasi yang terjadi secara terus menerus, membuat daya beli konsumen melambat. Sementara penyerapan tenaga kerja juga tidak sesuai harapan.
Memang tidak ada suatu rumusan yang bisa menentukan apakah suatu negara mengalami stagflasi atau tidak. Tapi, para ekonom sepakat bahwa stagflasi merupakan “episode lanjutan” dari inflasi tinggi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal lebih.
Stagflasi bisa terjadi pada negara mana pun. Namun, Bank Dunia lebih mencemaskan stagflasi yang terjadi di negara-negara maju. Misalnya Amerika Serikat.
Ketika stagflasi terjadi, maka bank sentral mau tidak mau harus menaikkan suku bunganya. Mengacu krisis tahun 1970-an, kenaikan suku bunga bisa sangat tajam.
Ketika suku bunga di negara maju naik tajam, itu bisa memengaruhi perekonomian negara lain. Terutama negara-negara berkembang.
Belum lama ini, Federal Reserve (The Fed) atau bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga hingga kisaran 3 hingga 3,25 persen. Ini menjadi yang tertinggi sejak 2008.
The Fed terkesan berhati-hati dalam menaikkan suku bunga. Namun, tak sedikit yang menilai The Fed terlalu lambat merespons situasi.
John Taylor, Profesor Ekonomi dari Stanford University menyebut bahwa suku bunga inti di AS minimal harus di level 5 persen. Sebab, inflasi sudah terlalu tinggi untuk ditanggapi dengan suku bunga di bawah 5 persen.
“Berisiko jika The Fed menganggap situasi lebih terkendali,” kata Taylor.
Selain Amerika Serikat, perekonomian sejumlah negara besar di dunia juga tengah terpuruk. Di antaranya Inggris yang pada September lalu tercatat mengalami inflasi sebesar 10,1 persen.
Itu adalah kelanjutan episode negatif di negara yang kini dipimpin Raja Charles III. Sebelumnya, di bulan Juli, inflasi tercatat sebesar 10,1 persen, lalu di bulan Agustus turun sedikit ke angka 9,9 persen.
Inflasi tinggi di Inggris terutama disebabkan oleh meningkatnya harga bahan makanan dan bahan bakar minyak (BBM). Memburuknya ekonomi Inggris membuat Perdana Menteri Liz Truss mundur dari jabatannya, meski baru 45 hari menjabat.
Berbeda dengan negara-negara barat, Asia diprediksi masih relatif aman dari ancaman stagflasi. Bahkan, ada peluang bagi negara-negara Asia untuk “bertumbuh” di tengah situasi global yang memburuk.
“Di Asia ada dinamika besar yang mendorong produktivitas melampaui kawasan lain,” tulis Chetan Ahya, ekonom pengamat Asia dari Morgan Stanley.
Dia memperkirakan bahwa produk domestik bruto (PDB) Asia bisa menjadi yang terbesar di dunia. Dari 33 triliun dolar AS di tahun 2021 menjadi 39 triliun dolar AS di tahun 2022.
Bandingkan dengan perkiraan PDB kawasan Amerika yang sebesar 34 triliun dolar AS dan Eropa yang hanya 26 triliun dolar AS di tahun 2023.
Indonesia Masih Jauh dari Stagflasi?
Mengacu laporan World Economic Prospects yang dirilis Oxford Economics, risiko stagflasi di Indonesia tergolong rendah. Bahkan, bila dibandingkan dengan China, India, maupun Brazil, risikonya juga masih lebih rendah.
Rendahnya risiko stagflasi dipicu oleh membaiknya perekonomian dalam negeri. Itu terlihat dari indeks penjualan riil (IPR) yang masih tumbuh 15,4 persen secara year on year (yoy). Juga purchasing manager’s index (PMIK) manufaktur yang menguat ke level 51,3 pada Juli 2022.
Kemudian, kinerja keuangan negara juga relatif bagus di tahun ini. Terbukti, Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) hingga Agustus mengalami surplus sebesar Rp 107,4 persen.
Surplus juga terjadi pada neraca perdagangan. Di mana mengacu data dari Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada September 2022 tercatat sebesar 4,99 miliar dolar AS. Sementara secara keseluruhan, selama periode Januari hingga September 2022, surplus neraca perdagangannya mencapai 39,87 miliar dolar AS. Melampaui capaian 2021 yang surplus 25,10 miliar dolar AS.
Meski relatif aman dari stagflasi, Indonesia tidak boleh memandang sebelah mata ancaman itu.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan bahwa potensi stagflasi masih ada. Apalagi bila pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua merosot jauh daripada kuartal sebelumnya.
“Pemangku kepentingan di Indonesia harus mencegah hal itu terjadi,” kata Tauhid, saat berbicara dalam diskusi “Mengelola Inflasi dan Mengantisipasi Stagnasi Ekonomi” di Jakarta, Agustus lalu.
Indonesia sendiri tidak bisa dibilang aman dari inflasi tinggi. Pemerintah harus bisa mengantisipasi peluang melonjaknya harga minyak dunia, seiring belum meredanya konflik Rusia-Ukraina.
Kemudian, pemerintah juga mesti memastikan ketersediaan bahan makanan di dalam negeri. Termasuk menjaga stabilitas harganya.
Cuaca buruk yang terjadi belakangan ini bisa memperbesar risiko gagal panen. Sekaligus mengganggu stabilitas harganya di pasaran. (*)