Revolusi industri yang terjadi antara tahun 1760 – 1850 mengubah kehidupan manusia secara signifikan. Pada periode itu, juga masa-masa setelahnya, industri skala besar bermunculan. Satu sisi, memberi manfaat ekonomi. Tapi di sisi lain, banyak degradasi yang terjadi. Termasuk memburuknya kondisi lingkungan.
Data dari United Nations Environment Programme (UNEP) menunjukkan bahwa, pada 2019, sebanyak 99 persen dari total populasi manusia di dunia, hidup di tempat-tempat dengan kualitas udara kurang layak.
Mengacu standar WHO, udara dengan kualitas baik memiliki partikel polutan kurang dari 5 mikrogram per meter kubik (µg/m3). Sayangnya, banyak negara yang tingkat polusinya jauh melewati ambang batas.
India dan Nepal, merujuk pada data UNEP menjadi negara yang udaranya paling kotor. Di mana polutannya mencapai 83 µg/m3. Atau 16 kali lipat dari standar WHO.
Bagaimana dengan Indonesia?
Rata-rata kualitas udara di Indonesia memang tidak seburuk India dan Nepal. Bahkan bila dibandingkan Thailand, maupun Vietnam, Indonesia masih lebih baik.
Namun, dengan tingkat polusi udara mencapai 19 µg/m3, itu masih berada di atas ambang batas yang ditetapkan WHO.
Polusi udara, seperti diketahui disebabkan oleh aktivitas manusia dan aktivitas alam. Aktivitas manusia meliputi penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, industri, hingga pembakaran sampah. Sementara dari aktivitas alam, polusi bisa terjadi karena letusan gunung berapi, debu tanah, dan petir.
Selama beberapa dekade ini, banyak penelitian yang mengungkap dampak buruk polusi udara bagi kesehatan manusia.
Selama 2019 saja, sekitar empat juta orang meninggal akibat paparan partikel berbahaya di udara. Kasus kematian terbanyak terjadi di China dengan angka 1,4 juta jiwa. Disusul India dengan 979 ribu jiwa.
Adapun, penyakit-penyakit yang muncul akibat polusi udara antara lain paru kronis, kanker paru, stroke, penyakit jantung iskemik, hingga diabetes tipe 2.
Tak hanya berdampak langsung bagi manusia, berbagai zat polutan diketahui menjadi penyebab rusaknya lapisan ozon.
Pada 2015 lalu, NASA merilis data yang menunjukkan luasan lubang ozon telah mencapai 25,6 juta kilometer persegi. Itu menjadi yang terluas sejak 1980.
Rusaknya lapisan ozon ujung-ujungnya juga berakibat buruk bagi kesehatan manusia.
Kesadaran untuk lebih “ramah terhadap lingkungan” pun muncul. Bahkan, itu sudah dimulai pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, Juni 1992.
Pada KTT tersebut, sebanyak 178 negara sepakat mengadopsi Agenda 21. Yakni rencana komprehensif membangun kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan. Tujuannya adalah meningkatkan taraf hidup manusia, sekaligus berupaya menjaga lingkungan.
Agenda 21 itu kemudian dilanjutkan oleh Millenium Development Goals (MDGs) yang dimulai pada tahun 2000. Target utama MDGs adalah mengatasi kemiskinan parah pada 2015.
Setelah MDGs berakhir, terbitlah Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). PBB menyebut SDGs sebagai cetak biru untuk mencapai perdamaian dan kemakmuran bagi manusia, baik untuk masa sekarang, maupun untuk masa yang akan datang.
SDGs memiliki 17 tujuan yang harus dicapai pada 2030, antara lain: 1) Tanpa kemiskinan; 2) Tanpa kelaparan; 3) Kehidupan sehat dan sejahtera; 4) Pendidikan berkualitas; 5) Kesetaraan gender; 6) Air bersih dan sanitasi layak; 7) Energi bersih dan terjangkau; 8) Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; 9) Industri, inovasi, dan infrastruktur; 10) Berkurangnya kesenjangan; 11) Kota dan permukiman yang berkelanjutan; 12) Konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab; 13) Penanganan perubahan iklim; 14) Ekosistem lautan; 15) Ekosistem daratan; 16) Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh; 17) Kemitraan untuk mencapai tujuan.
Tujuan-tujuan itu menunjukkan bahwa SDGs tidak hanya berfokus pada upaya perbaikan ekonomi. Tapi juga mendesain kehidupan yang lebih ramah lingkungan. Di antaranya lewat upaya penanganan perubahan iklim serta transformasi ke energi yang lebih bersih.
Terhitung sejak 2015, SDGs sudah tujuh tahun berjalan. Seperti apa perkembangannya saat ini?
Mengacu laporan SDGs tahun 2022, ternyata banyak hal yang kurang menggembirakan. Terutama soal energi terbarukan.
Laporan itu menunjukkan bahwa penggunaan energi terbarukan memang mengalami peningkatan antara 2010 hingga 2019. Tapi, penggunaan energi terbarukan hanya menempati porsi 17,7 persen dari total penggunaan energi. Artinya, penggunaan energi fosil masih sangat dominan.
Selain itu, soal perubahan iklim juga mendapatkan raport merah. Di mana PBB mencatat, selama 2021 terjadi peningkatan kadar karbon dioksida (CO2) sebesar 6 persen.
Implementasi SDGs di Indonesia juga setali tiga uang. Berdasarkan kajian yang dilakukan NGO Forum on Indonesian Development (INFID), pencapaian SDGs di Indonesia pada 2022 hanya mendapatkan nilai 39 (kategori kemajuan rendah). Padahal, tahun lalu, skornya 47,2 (kemajuan medium).
Sejumlah hal memang mengalami peningkatan. Seperti pendidikan dan kesetaraan gender. Tapi banyak aspek lain yang ternyata menurun. Sayangnya, itu terkait dengan transisi energi.
Presiden Joko Widodo menyebut bahwa tantangan yang dihadapi dunia dalam dua tahun belakangan ini membuat target-target SDGs semakin sulit dicapai.
Jokowi pun mengingatkan kepada negara-negara di dunia untuk memperkuat kemitraan global. Salah satunya fokus pada pendanaan pembangunan.
Ini karena kesenjangan pendanaan SDGS meningkat. Dari 2,5 triliun dolar AS per tahun sebelum pandemi menjadi 4,2 triliun dolar AS per tahun pascapandemi.
“Pendanaan inovatif harus segera dimajukan. Terutama peranan sektor swasta harus diperkuat. BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) harus menjadi katalis bagi penguatan investasi di negara-negara berkembang,” kata Jokowi dalam pidato virtualnya pada High-Level Dialogue on Global Development dari Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (24/6/2022).
Kemudian, yang perlu diupayakan lagi, kata Jokowi adalah menciptakan sumber-sumber pertumbuhan baru. Di mana, sumber-sumber itu harus selaras dengan prinsip industri dan infrastruktur hijau.
Pernyataan Jokowi itu tak hanya menjadi tantangan bagi negara-negara BRICS yang belakangan mengalami pertumbuhan ekonomi cukup pesat, tapi juga tantangan bagi swasta.
Belakangan ini, mulai banyak korporasi besar yang melirik energi terbarukan. Salah satunya PT Adaro Energy Indonesia Tbk.
Memang, Adaro belum akan meninggalkan bisnis batubara dalam waktu dekat ini. Tapi, pemanfaatan energi terbarukan adalah sebuah keniscayaan yang harus disiapkan sedini mungkin.
Nah, seperti apa rencana Adaro untuk sektor energi terbarukan bisa Anda temukan jawabannya dalam siniar (podcast) CEO TALKS Series 2. Siniar yang merupakan bagian dari rangkaian Kompas100 CEO Forum Powered by East Ventures bakal tayang di situs web kompas100.kompas.id dalam waktu dekat ini.