Menghijaukan Kilang Minyak Pertamina

Seperti kita ketahui, Indonesia tengah berproses menuju net zero carbon (karbon nol bersih) di tahun 2060. Target ini bakal mengubah peta bisnis sejumlah perusahaan. Termasuk Pertamina, BUMN “penghasil” karbon di tanah air. 

Atep Salyadi Dariah Saputra, Direktur Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha PT Pertamina (Persero) mengatakan, saat ini masih banyak orang yang belum memahami konsep net zero carbon atau net zero emission. “Ada net-nya, bukan zero (nol). Jadi, tetap ada karbon yang diproduksi, tapi ada yang mengkompensasikannya,” kata Salyadi dalam siniar (podcast) CEO Talks #5: Memenuhi Kebutuhan Energi Lewat Prinsip Berkelanjutan. 

Maksud pernyataan Salyadi itu adalah, bahwa di tahun 2060 kemungkinan besar masih ada produksi karbon. Apakah itu dari aktivitas pertambangan, industri, maupun kendaraan bermotor. 

Namun, di sisi lain ada upaya-upaya untuk mengimbangi produksi karbon itu. Yakni lewat carbon trading (perdagangan karbon). 

Perdagangan karbon merupakan skema pembelian dan penjualan izin yang memungkinkan pemegang izin untuk melepaskan karbon dioksida atau gas rumah kaca lainnya. Perdagangan karbon bisa dilakukan antarnegara maupun antar perusahaan. 

Sederhananya, setiap perusahaan mendapatkan kuota maksimal karbon yang bisa dilepaskan. Tapi, ketika mencapai kuota dan perusahaan itu masih ingin memproduksi karbon lagi, maka dia bisa membeli hak dari perusahaan lain yang kuota karbonnya tidak terpakai. “Kami sedang mengembangkan ekosistem di mana di dalam Pertamina bisa melakukan carbon trading,” ujar dia. 

Pertamina, seperti diketahui memiliki sejumlah anak perusahaan. Salah satunya PT Pertamina EP yang merupakan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. 

PT Pertamina EP jelas menjadi produsen carbon karena aktivitas eksplorasi, maupun eksploitasi minyak buminya. Minyak bumi yang kemudian menjadi BBM juga menghasilkan karbon ketika digunakan oleh kendaraan bermotor. “Tapi di PPI (PT Pertamina Power Indonesia) tidak memproduksi karbon. Ini menjadi carbon credit yang bisa di-exchange-kan,” jelas dia. 

Skema carbon trading juga akan diterapkan di lingkup lebih luas, yakni Kementerian BUMN. Kementerian yang dipimpin Erick Thohir itu memiliki sejumlah perusahaan yang memproduksi karbon dalam jumlah besar. Seperti PT Bukit Asam misalnya yang bergerak di bidang pertambangan batu bara. “Tapi BUMN juga punya perkebunan yang dikelola Perhutani. Itu bisa menjadi carbon credit,” ujarnya. 

Dari kanan, Atep Salyadi Dariah Saputra, Direktur Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha PT Pertamina (Persero) bersama Jurnalis Kompas Aris Prasetyo.

Roadmap Pertamina

 

Bagi Pertamina, mungkin akan sulit untuk menjadi perusahaan tanpa karbon sama sekali. Setidaknya untuk jangka waktu yang pendek. 

Tapi, Salyadi mengungkapkan bahwa Pertamina sudah memiliki roadmap menuju 2060. “Kami memiliki program-program untuk mengurangi efek atau akibat dari emisi (karbon). Di Pertamina, kami memiliki aspirasi banyak sekali,” kata dia. 

Aspirasi itu di antaranya “menghijaukan” kilang-kilang minyak. Setiap kilang minyak memang masih menghasilkan karbon dioksida (CO2). Tapi jumlah atau kadarnya bisa diminimalisir. “CO2 itu tergantung bagaimana kita memprosesnya. Kalau prosesnya lebih baik, CO2 bisa jauh lebih sedikit,” jelasnya. 

Salah satu caranya dengan carbon capture. Yakni mencegah CO2 ke udara, kemudian memasukkannya lagi ke dalam perut bumi. “Bagusnya (carbon capture) adalah, disamping menyimpan karbon, juga bisa mendorong minyak-minyak yang susah diangkat. Ini bisa menghasilkan minyak yang lebih banyak,” kata dia. 

Aspirasi berikutnya adalah mengoptimalkan unit-unit bisnis Pertamina yang memproduksi bahan bakar ramah lingkungan. Misalnya bioenergi, di mana Pertamina sudah mampu menghasilkan Solar B30 yang 30 persen komposisinya berasal dari bahan organik. 

Kemudian, Pertamina juga mengamati tren kendaraan masa depan. “(kendaraan berbahan bakar) hidrogen dan electric vehicle (kendaraan listrik) adalah dua hal yang harus kita antisipasi ke depan,” kata dia. 

Untuk ekosistem electric vehicle (EV), Pertamina sudah menancapkan satu kakinya di Indonesian Battery Corporation (IBC). Bersama dengan Mining Industry Indonesia (MindID), dan PT PLN (Persero). 

Sementara pada kaki yang lainnya, Pertamina sudah mulai mengembangkan produk-produk hidrogen. “Dua-duanya (EV dan hidrogen) kami seimbangkan,” kata dia.