Mencari Bentuk Ideal dari Metaverse

Istilah metaverse mencapai puncak popularitasnya di tahun 2021 lalu ketika Mark Zuckerberg mengumumkan penggantian nama Facebook menjadi Meta. Zuckerberg menyebut bahwa metaverse adalah masa depan dunia internet. 

Meski melejit berkat keputusan Zuckerberg, metaverse sejatinya bukan hal yang baru muncul di 2021. 

Merujuk Forbes, ide metaverse dicetuskan kali pertama oleh Sir Charles Wheatstone  di tahun 1838. Dia memaparkan konsep binocular vision atau penglihatan binokular. Yakni menggabungkan dua gambar untuk menciptakan efek 3D pada suatu gambar. 

Lalu, di tahun 1935, konsep metaverse juga muncul dalam buku fiksi ilmiah Pygmalion’s Spectacles karya penulis Amerika Stanley Weinbaum. Buku itu menampilkan karakter utama yang menjelajahi dunia fiksi dengan menggunakan kacamata. Di mana kacamata itu bisa memberikan sensasi visual, suara, bahkan sentuhan. 

Konsep Wheatstone, maupun Weinbaum di hari ini bisa kita lihat pada headset VR (virtual reality). Di mana prototipe pertamanya dibuat oleh Morton Heilig pada 1956. Lalu, seiring berjalannya waktu mengalami penyempurnaan.

Di mata Zuckerberg, metaverse adalah lingkungan virtual yang bisa dimasuki oleh orang maupun sekelompok orang. Pengguna metaverse bisa saling berinteraksi, bermain, bahkan bekerja dengan bantuan perangkat AR (augmented reality) dan VR. 

Zuckerberg memperkirakan, pengguna metaverse bakal mencapai 1 miliar individu dalam kurun waktu satu dekade ke depan. 

Semakin banyak orang yang bergabung dengan metaverse, maka semakin besar pula potensi ekonominya.  

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Teknologi Finansial Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta mengutip riset lembaga akuntan publik dan bisnis Price Waterhouse Cooper (PWC) mengatakan bahwa potensi ekonomi metaverse terus bertumbuh. Dari yang awalnya “hanya” 46,4 miliar dolar AS di tahun 2019 bisa melesat menjadi 476,4 miliar dolar AS pada 2025. 

Lalu, pada 2030, potensi ekonomi metaverse diramalkan bisa menembus 1,5 triliun miliar dolar AS. “Ini pasar yang sangat besar di tingkat global. Tentu, ini potensi yang sangat besar juga di Indonesia,” kata Tris, beberapa waktu lalu. 

Di Indonesia, ekosistem metaverse mulai bermunculan dalam dua tahun belakangan. Di antaranya Metanesia, ekosistem metaverse yang digagas oleh PT Telkom Indonesia (Persero) dan secara resmi diluncurkan pada Juli 2022 lalu. 

Telkom menyebut Metanesia sebagai tempat di mana penggunanya tak hanya bisa berinteraksi, tapi juga memanfaatkan berbagai layanan konsultasi, maupun membeli produk-produk BUMN. 

Sebelumnya, pada April 2022, Rans Entertainment memperkenalkan RansVerse. Yakni metaverse yang berbentuk pulau, terdiri atas lima bagian. 

Tiap-tiap bagian pulau itu memiliki plot land (lahan). Di mana lahan-lahan itu, juga berbagai aset di dalam Ransverse bisa diperjualbelikan. Di mana sistem jual belinya memanfaatkan teknologi blockchain.

Desain dan konsep yang ditawarkan setiap ekosistem metaverse itu bisa berbeda satu sama lain. Tapi, setiap ekosistem itu sama-sama menyebut dirinya sebagai “dunia tanpa batas”. 

Sebab, metaverse masih terus berkembang. Di mana saat ini masih pada tahap permulaan. 

Wajah metaverse dalam satu dekade mendatang mungkin akan melebihi perkiraan kita saat ini. 

Menurut World Economic Forum, hingga tahun 2022, tidak ada definisi yang secara tepat menjelaskan apa itu metaverse. Masih banyak pertanyaan yang belum menemukan jawabannya. 

Mulai dari ‘Apakah metaverse akan menggantikan internet?, sampai ‘Apakah semua orang harus tinggal di metaverse?

Seberapa jauh metaverse melaju amat bergantung pada perkembangan teknologinya. Di antaranya terkait dengan teknologi Graphic Processing Unit (GPU) atau teknologi pemrosesan grafis. 

Makin canggih GPU-nya, maka metaverse akan semakin realistis. Itu juga harus ditunjang dengan jaringan internet super cepat. 

Saat ini, teknologi 5G sudah mulai masuk di banyak negara. Termasuk Indonesia, meski tidak merata. 

Secara teori, 5G menawarkan kecepatan internet hingga 10 Gigabits per second (Gbps). Meski pada praktiknya, rata-rata kecepatan internetnya sekitar 50 Megabits per second (Mbps). 

Di saat teknologi 5G masih sebatas permulaan di banyak negara, China telah mengujicobakan teknologi 6G. Di mana kecepatan pengiriman datanya mencapai 1 Terabits per second (Tbps). 

Ketika menjelajahi dunia metaverse, salah satu hal yang diinginkan pengguna adalah mereka bisa merasakan sensasi layaknya realitas yang sebenarnya. Sensasi itu bisa dirasakan lewat penggunaan teknologi extended reality (XR) yang didukung VR, AR juga brain computer interfaces (BCI). 

Tak cukup sampai di situ, teknologi tanam chip di otak yang dikembangkan Neuralink diyakini bisa membawa umat manusia ke tingkat yang lebih tinggi di dunia metaverse. 

Perkembangan teknologi itu nantinya bisa mengubah perspektif orang terhadap metaverse. Dari yang saat ini hanya sekadar “pelarian digital” menjadi sesuatu yang lebih “besar”. 

Fredrik Hellberg, salah satu pendiri studio arsitektur digital Space Popular meyakini bahwa metaverse memiliki banyak manfaat dan memudahkan hidup manusia. “Ruang-ruang realitas virtual bisa menyatukan orang meski mereka sebenarnya secara fisik terpisah, seperti pada masa pandemi sekarang,” kata dia.