CEO Talks-1

Indonesia Surganya Peluang Bisnis, Apa yang Paling Prospektif?

KOMPAS – Indonesia menjadi satu di antara sedikit negara di dunia yang relatif tahan banting terhadap pandemi Covid-19. Tak sekadar mampu menahan guncangan, pandemi ternyata memicu munculnya peluang-peluang baru di sektor bisnis. 

 

“Awal Covid-19 tentu saja ada dampaknya karena kita gak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Kami bahkan menunda investasi selama 1-2 kuartal. Sampai akhirnya terbukti bahwa Indonesia, juga Asia Tenggara adalah region yang cukup resilience (tangguh),” kata Melisa Irene, Partner of East Ventures saat berbicara dalam siniar (podcast) CEO TALKS Series 1 yang tayang di kompas100.kompas.id, Kamis (25/08/2022).  

 

Ada banyak hal yang membuat Indonesia mampu bertahan di tengah situasi sulit. Selain faktor sumber daya alam, jumlah populasi menjadi nilai plus yang dimiliki Indonesia. 

 

Seperti diketahui, mengacu hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada 2020 mencapai 270,2 juta jiwa. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia.

 

“Kemudian yang menarik adalah stability government (stabilitas pemerintahan). Cukup kondusif. Mereka juga suportif terhadap digital ekonomi,” ujar perempuan pertama yang menjadi partner East Ventures ini.  

 

Dari sisi masyarakatnya, Melisa juga melihat ada gairah untuk berusaha. Gairah itu ternyata banyak tumbuh di masa pandemi. 

 

Ketika krisis terjadi, banyak orang di-PHK. Mereka (setelah di-PHK) membuat perusahaan sendiri. Mereka mencoba untuk merealisasikan mimpinya,” jelas lulusan Akuntansi Binus International University ini. 

 

Startup-startup baru bermunculan, bahkan menjadi sangat besar justru di masa pandemi. Meski tak sedikit pula yang terengah-engah, bahkan gulung tikar. 

“Ketika ada startup yang harus tutup, itu menyedihkan. Tapi, itu natural terjadi,” kata perempuan yang meraih penghargaan Indonesia Young Women Future Business Leader 2020 ini. 

 

Ketika kondisinya sulit, startup mau tidak mau harus melakukan rasionalisasi. Termasuk memangkas jumlah pegawai demi menekan biaya operasional. “Mungkin, mereka melakukan pengecilan dulu, baru grow up (tumbuh) lagi,” ujar dia. 

 

Pada masa-masa sulit itulah, startup semestinya menata ulang bisnisnya. “Fokus pada core business-nya itu apa sih,” kata dia. 

 

Meski banyak startup berguguran, Melisa masih optimistis bahwa industri startup di Indonesia masih sangat menjanjikan. Akan ada pemain-pemain baru. Sementara untuk pemain lama, dia meyakini ada perubahan paradigma.

 

Sudah bukan rahasia lagi bila banyak startup dikenal lewat strategi “bakar duitnya”, yakni berani mengeluarkan dana besar, misalnya untuk diskon atau hadiah kepada konsumen, demi mendongkrak valuasi perusahaan. 

 

Startup sekarang beradaptasi bahwa uang (modal) tidak selalu ada. Yang dilakukan adalah bagaimana bisnis mereka bisa terus berjalan,” kata dia. 

 

Banyak cara yang dilakukan agar suatu bisnis itu bisa tetap berjalan. Selain itu, bagaimana agar bisnis itu bisa memberi solusi bagi masyarakat. 

 

“Di Indonesia, greater goal-nya (tujuan terbesarnya) adalah membuat masyarakat lebih baik,” kata Melisa.  

 

Pada masa sekarang, kolaborasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Semangat kolaborasi, kata Melisa, justru menguat pada masa pandemi. 

 

“Saat pandemi, ada contoh bahwa kita bisa banget untuk berkolaborasi antara startup founder dan pemerintah untuk sama-sama memulihkan kondisi masyarakat supaya bisa keluar dari perangkap (pandemi) Covid-19,” jelas. 

Melisa Irene, Partner of East Ventures (kanan) bersama jurnalis Harian Kompas Agnes Theodora dalam CEO TALKS Series 1.

 

Dia kemudian menjelaskan soal gerakan “Indonesia PASTI BISA” yang diinisiasi East Ventures. Gerakan ini menyinergikan pemerintah, startup, dan diaspora untuk mempercepat pengadaan oxygen concentrators di Indonesia. 

 

Terbukti, gerakan itu sangat membantu upaya pemerintah dalam mengatasi pandemi. Tak terhitung sudah berapa banyak nyawa yang terselamatkan dengan pengadaan oxygen concentrators itu. 

 

Contoh kolaborasi menarik lainnya adalah apa yang dilakukan oleh Aruna, startup yang bergerak di sektor perikanan. Kebetulan, Aruna juga mendapatkan dukungan pendanaan dari East Ventures. 

 

“Mereka mengelola kelompok nelayan. Membantu mereka mendapatkan buyer (pembeli) dengan harga yang lebih baik. Termasuk (untuk pasar) ekspor,” ungkap Melisa. 

 

Dia mengatakan, sektor agriteknologi sejatinya menarik. Potensinya masih begitu besar. “Tapi, banyak startup yang tidak berhasil karena memang tidak mudah untuk masuk ke situ,” kata dia. 

 

Nah, Aruna, kata Melisa, mampu memetakan masalah yang ada, sekaligus mencari solusi. Di antaranya dengan kolaborasi. Salah satu kolaborasi itu adalah perusahaan teknologi finansial (fintech) KoinWorks.

 

Melisa mengatakan, nelayan selama ini menjadi segmen yang sulit untuk dijangkau oleh fintech. Termasuk oleh KoinWorks. 

 

“KoinWorks umumnya business to business (B2B), tapi bisa memperpanjang (akses permodalan) kepada nelayan. Melalui Aruna, lewat kerja sama seperti ini, fintech pun bisa masuk,” ujar dia. 

 

Dia pun berharap kolaborasi untuk sektor pertanian-perikanan lebih banyak muncul pada masa mendatang. “Indonesia itu banyak peluangnya,” kata dia. 

Tak hanya soal bagaimana mengelola nelayan seperti yang dilakukan Aruna Indonesia. Soal logistik, kata Melisa, juga memiliki tantangan yang tidak semua bisa dipecahkan. 

“Indonesia itu negara kepulauan. Banyak masalah yang tidak bisa ditangani oleh beberapa (perusahaan logistik). Misalnya soal bagaimana mengirim ikan beku,” ujar dia. 

Peluang bisnis lain yang tidak kalah besar, kata Melisa ada pada sektor kesehatan. “Pandemi COVID-19 membuat kita makin melek kesehatan. Health tech itu sesuatu yang menarik,” pungkasnya. 

 

*Materi selengkapnya bisa Anda saksikan dalam siniar CEO TALKS Series 1: Tingkatkan Inklusi Keuangan lewat Pemerataan bersama Melisa Irene, Partner of East Ventures dengan meng-klik https://youtu.be/-P4HVyH_8Dw