Indonesia Bebas Karbon 2060, Realistiskah?

Memburuknya kondisi lingkungan mendorong Indonesia mencanangkan target net zero carbon (nol emisi karbon) pada tahun 2060. Melihat kondisi saat ini, apakah target tersebut realistis?

 

Pertanyaan seputar apakah target net zero carbon realistis muncul dalam Rangkaian Kompas100 CEO Forum ke-13 Powered by East Ventures: CEO on Stage Universitas Indonesia, yang digelar di Mochtar Riady Plaza Quantum (MRPQ), Universitas Indonesia (UI), Senin (21/11/2022). 

 

Dekan Fakultas Teknik UI Prof Dr Heri Hermansyah ST MEng mengatakan, untuk mencapai target tersebut, ada kondisi-kondisi yang harus bisa dipenuhi. “Kita punya program apa? Jangka pendek-menengahnya seperti apa? Kalau tidak ada, lupakan saja,” kata Heri. 

 

Program pemerintah dalam menanggulangi perubahan iklim sejatinya sudah termuat dalam National Determined Contribution (NDC). Dokumen NDC pertama telah diserahkan pemerintah RI kepada United Nations Framework on Climate Change Conference (UNFCCC) pada 2015. 

 

Dokumen itu kemudian diperbarui pada 2021 lalu. Salah satu perubahannya adalah terkait target pengurangan emisi karbon pada tahun 2030. Dari yang awalnya 29 persen menjadi 31,89 persen. Itu adalah pengurangan emisi dengan upaya sendiri. 

 

Sementara dengan bantuan internasional, pemerintah RI menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 43,2 persen.

 

Roadmap-nya sudah ada. Tapi, apakah ada regulasi-regulasi yang mendukung? Kita melihat, masih banyak yang perlu diperbaiki,” kata Fadli Rahman, Direktur Perencanaan Strategi dan Pengembangan Bisnis Pertamina New Renewable Energy (NRE). 

 

Fadli mengatakan, banyak hal yang harus disiapkan untuk mencapai net zero carbon pada tahun 2060. “Secara overall, kita tidak akan mencapai tujuan itu sebelum elemen kaki-kaki yang dibutuhkan itu ada,” ujar dia. 

 

Di sisi lain, banyak pihak yang beranggapan bahwa pemerintah kurang ambisius dalam mencanangkan zero net carbon. Apalagi bila dibandingkan dengan sejumlah negara, sebut saja Finlandia yang berani menargetkan netralitas karbon (carbon neutrality) pada tahun 2035.

 

Jika Finlandia dianggap terlalu jauh, bisa juga melihat pada Malaysia yang berupaya mencapai netralitas karbon pada tahun 2050. Fadli mengatakan, setiap negara punya kondisi yang berbeda. “Kita ini negara berkembang, jangan disamakan dengan negara maju yang sudah membuat emisi lebih lama dan lebih besar dari kita. Jangan harap kita turun (emisi) bareng-bareng,” jelasnya.

 

Ia juga mengingatkan agar jangan sampai target zero net carbon justru mengganggu aktivitas ekonomi. “Jangan hanya memperhatikan environment (lingkungan). Ekonomi juga penting,” kata dia. 

 

Transformasi energi

 

Salah satu upaya untuk menurunkan emisi karbon adalah melalui transformasi energi, dari energi fosil ke energi terbarukan. Penggunaan energi terbarukan menjadi keniscayaan, tetapi apakah untuk saat ini energi terbarukan itu sudah reliable (dapat diandalkan) dan affordable (terjangkau)?

 

“Kita inginnya reliable dan affordable. Tapi untuk kedua-duanya bareng itu susah,” kata Dharma Djojonegoro, Presiden Direktur Adaro Power. Dia mencontohkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang dari sisi biaya pembangunan dan operasional lebih murah dibandingkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). 

 

Meski sudah memenuhi aspek affordable, PLTS belum reliable karena hanya mampu menghasilkan listrik selama empat jam. Sedangkan PLTU, selama pasokan bahan bakarnya cukup, bisa beroperasi seharian penuh.

 

Apakah PLTS tidak bisa seperti itu? Jawabannya bisa. Dengan penggunaan baterai yang mumpuni, PLTS bisa saja menyuplai kebutuhan energi dengan durasi yang sama seperti PLTU.  “Tapi, terus terang, dengan teknologi yang saat ini, hal itu belum realistis,” katanya. [*]