Dunia Dalam Ancaman Cuaca Ekstrem

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) telah mengingatkan bahwa dalam lima tahun ke depan, makhluk hidup di bumi setidaknya akan mengalami satu tahun terpanas. Kenaikan suhunya bisa mencapai 1,5 derajat celcius. Lebih tinggi dari kenaikan suhu rata-rata yang terjadi antara tahun 1850 – 1900. 

Kenaikan suhu secara ekstrem ini menjadi bukti bahwa perubahan iklim menjadi satu hal serius yang sedang dihadapi umat manusia. Salah satu pemicunya adalah konsentrasi gas rumah kaca yang terus meningkat, bahkan mencapai rekor-rekor baru. 

Laporan terbaru dari Agen Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) memperkirakan bahwa tingkat emisi karbon dioksida (CO2) bakal mencapai 33,8 miliar ton. Meningkat sekitar 300 juta ton dibanding 2021 lalu yang mencapai 33,5 miliar ton. 

Sebagai perbandingan, pada 1990 lalu, emisi karbon mencapai 20,5 miliar ton. Artinya, ada kenaikan signifikan dalam kurun 30 tahun terakhir. 

Meningkatnya emisi karbon tak hanya membuat suhu bumi menjadi lebih panas. Tapi juga memicu cuaca ekstrem yang sejatinya sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. 

Banjir yang terjadi di Pakistan antara Juni – Oktober 2022 menjadi salah satu bukti betapa seriusnya dampak perubahan iklim. Banjir Pakistan, seperti diketahui dipicu oleh peningkatan curah hujan akibat tiupan angin monsun dan mencairnya gletser. 

Sedikitnya, 1.700 orang tewas dalam peristiwa tersebut. Lebih dari 600 di antaranya adalah anak-anak. 

Bank Dunia dalam laporannya menyebut bahwa bencana yang terjadi di Pakistan telah menyebabkan kerusakan dengan nilai mencapai 14,9 miliar dolar AS. Sementara potensi ekonomi yang hilang akibat bencana tersebut mencapai 15,2 miliar dolar AS. Bagi negara yang masuk kategori miskin seperti Pakistan, itu jelas angka yang amat besar. 

Sangat mungkin bencana serupa akan terjadi di Pakistan di tahun-tahun mendatang. Mengacu data citra satelit, PBB memprediksi, sedikitnya 8 juta warga Pakistan berpotensi menjadi korban banjir karena mereka tinggal di daerah-daerah yang masuk kategori rawan. 

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa bencana sudah menjadi konsekuensi besar dari perubahan iklim. “Itu adalah harga dari kecanduan bahan bakar fosil,” kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres.

Artinya, bila ingin menyelamatkan lingkungan maka manusia harus mengurangi “kecanduannya” terhadap bahan bakar fosil. Menurut penelitian, produksi bahan bakar fosil harusnya bisa dikurangi sebesar 6 persen per tahun demi menahan kenaikan suhu bumi agar tak melebihi 1,5 derajat celcius.

Sayangnya, itu akan sulit dilakukan, setidaknya dalam beberapa tahun ke depan. Sebab, alih-alih mengurangi, sejumlah negara malah meningkatkan produksi bahan bakar fosilnya. 

China misalnya. Biro statistik negara tersebut pada Juli lalu mengumumkan bahwa produksi batu bara harian mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Dari 10,13 juta ton per hari menjadi 12,64 juta ton. 

Pemerintah China beralasan, kenaikan produksi ini dilakukan untuk menjaga keamanan energi di dalam negeri. Apalagi, beberapa waktu lalu, China sempat mengalami krisis energi yang memicu pemadaman listrik di beberapa daerah. Bagaimana dengan Indonesia?

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan, produksi batubara pada semester I-2022 telah mencapai 360,7 juta ton. Lebih tinggi dari produksi pada semester I-2021 yang mencapai 286 juta ton. 

Melejitnya produksi batubara bukan hanya untuk mengamankan energi dalam negeri. Tapi juga terjadi seiring meningkatnya permintaan dari negara-negara Eropa, terutama semenjak meletusnya konflik Rusia-Ukraina.