Batubara Masih Menjanjikan, Tapi Sampai Kapan?

Harga batubara melesat luar biasa sepanjang tahun 2022. Dari yang awalnya berharga 158,5 dolar Amerika Serikat (AS) per ton di awal Januari, kini sudah menembus 400 dolar AS per ton. Di satu sisi, harga yang tinggi menunjukkan bahwa batubara masih prospektif. Tapi di sisi lain, ini bisa menjadi pemicu bagi banyak negara untuk mengurangi ketergantungan terhadap komoditi “emas hitam” tersebut. 

Seperti diketahui, banyak faktor yang menyebabkan harga batubara melambung tinggi. Tahun ini, pemicu terbesarnya adalah kebijakan Rusia memangkas pasokan gas alam ke banyak negara di Eropa. 

Tanpa gas alam, banyak negara Eropa yang kembali melirik batubara sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik mereka. Langkah itu membuat permintaan terhadap batu bara melonjak. Permintaan yang makin tinggi membuat harga batubara terkerek naik. 

“Krisis di Ukraina memang membuat harga komoditas jadi sangat tinggi. Termasuk batubara. Ini menjadi kesempatan bagi Indonesia karena sekarang Eropa mencari batubara,” ujar Presiden Direktur Adaro Power Dharma Djojonegoro, berbicara dalam siniar (podcast) CEO TALKS Edisi ke-2: Kolaborasi untuk Mewujudkan Energi Terbarukan.  

Seperti diketahui, Indonesia menjadi salah satu produsen batubara terbesar di dunia. Menurut Globaldata, Indonesia berada di urutan ketiga dengan angka produksi batubara mencapai 550 juta ton sepanjang 2021. 

Indonesia berada di bawah Tiongkok yang mampu memproduksi 3,9 miliar ton dan India yang memproduksi 767 juta ton. 

“Selama enam bulan ini saya menerima banyak email dari orang Eropa yang mencari batubara, (email yang masuk) lebih banyak dari enam tahun terakhir,” ujar Dharma.  

Bagi perusahaan batubara seperti Adaro, naiknya harga dan permintaan adalah hal yang positif. “Di satu sisi itu blessing (berkah). Tapi di sisi lain, kita harus hati-hati. Apakah dengan naiknya harga batubara akan mempercepat transisi ke renewable energy (energi terbarukan)?”

Meski belum ada rencana untuk meninggalkan bisnis batubara, setidaknya untuk waktu dekat ini, Adaro rupanya sudah menyiapkan rencana lain. Yakni transisi ke energi terbarukan. 

“Pergerakan ke arah renewable ini mau gak mau, suka gak suka harus dilakukan. Dunia sudah menuju ke situ,” kata putra dari Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan VI ini. 

Dharma menggunakan istilah “mesin” untuk proyek-proyek Adaro. “Kami sekarang ini sudah punya mesin batubara, masih bagus dan masih jalan. Lalu kita bangun dua mesin baru. Satu green mineral, satu green energy,” ungkapnya. 

Apa itu green mineral?

The new green economy (ekonomi hijau yang baru) ini akan sangat memerlukan mineral yang spesifik. Contoh, mobil listrik itu perlu 30 persen alumunium lebih banyak dari mobil biasa. Lalu, wind turbine (turbin untuk pembangkit listrik tenaga angin) perlu stainless steel,” jelas dia. 

Green mineral bisa dikatakan menjadi hal yang paling dekat dengan bisnis Adaro saat ini. Pasalnya, Adaro memiliki cooking coal atau kokas batubara yang bisa diolah menjadi baja.

Mesin berikutnya green energy. Saat ini, Adaro tengah membangun green industry di kawasan Kalimatan Utara. 

“Kami membangun hidropowerplant di sana. Selain itu, kami juga partisipasi untuk tender PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu),” ujarnya. 

Dharma berharap, mesin-mesin “hijau” itu bisa segera beroperasi. “Kami sih ingin secepat mungkin. Tapi cepat atau lambat itu kan banyak faktor. Mulai dari faktor perizinan, juga faktor (situasi) dunia,” kata dia. 

Green mineral maupun green energy adalah industri baru. Banyak hal mesti dipelajari. 

Termasuk soal penguasaan teknologi. “Transisi ke energi terbarukan, (tapi) teknologinya belum nyampe-nyampe banget,” ungkap dia. 

Misalnya dalam hal pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). “Kurva biaya (pembangunan) solar (pembangkit listrik tenaga surya) kita lihat dari (awalnya) sangat mahal menjadi sangat murah. Tapi baterainya masih jauh (mahal). Jadi, kapan nih baterai jadi murah?” ujar dia. 

Secara ilmu pengetahuan dan teknologi, energi terbarukan saat ini bisa dikatakan jauh dari sempurna. Semua masih mencari bentuk idealnya. 

“Bagi dunia usaha itu uncertain (tidak pasti), but in other hand exciting (tapi di sisi lain itu menarik),” pungkas dia. 

*Materi selengkapnya bisa Anda saksikan pada Siniar (podcast) CEO TALKS Edisi 2: Kolaborasi untuk Mewujudkan Energi Terbarukan bersama Dharma Djojonegoro, Presiden Direktur Adaro Power melalui situs web kompas100.kompas.id