Apa Untungnya Ekonomi Hijau?

 

Untuk menuju ekonomi hijau, ada yang harus “dikorbankan”.  Di antaranya, memensiundinikan seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang ada di Indonesia.

 

Menurut data tahunan PT PLN (Persero) 2021, terdapat 126 PLTU yang masih beroperasi di Indonesia. Dari jumlah itu, 42 unit PLTU di antaranya berada di Pulau Jawa.

 

Dari sisi produksi listrik, PLTU memberi kontribusi lebih dari 61 persen. Ini menunjukkan bahwa PLTU masih menjadi sumber energi listrik utama. Memensiunkan PLTU, meski pembangkit ini tidak ramah lingkungan, jelas bukan perkara mudah.

 

Butuh anggaran besar untuk memensiunkan seluruh PLTU di Indonesia. “Untuk (Pulau) Jawa saja, ada sekitar 20 miliar dollar AS yang dibutuhkan,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional RI/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa saat menjadi pembicara kunci pada Kompas100 CEO Forum Ke-13 Powered by East Ventures – CEO Live Series #2: Pengembangan Ekonomi Hijau dan Urgensi Program Keberlanjutan yang didukung oleh Adaro Energy Indonesia, Pertamina, PLN, Barito Pacific, dan Sarana Multi Infrastruktur, di The Westin Jakarta, Rabu (23/11/2022).

 

Kemudian, pemerintah juga harus menentukan pembangkit listrik pengganti PLTU. Transisi antara PLTU dengan pembangkit baru yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) juga harus berjalan mulus. “Ketika pembangkit listrik yang menggunakan energi konvensional dipensiunkan, ada dua isu yang muncul. Pertama, pembiayaannya bagaimana? Kedua, teknologinya. Itu harus bisa kita jawab,” kata Suharso yang pernah menjabat Menteri Perumahan Rakyat ini.

 

Meski tantangannya banyak, transformasi energi adalah sebuah keniscayaan. “Pada COP26 (Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 tahun 2021) kita diingatkan sebuah pidato luar biasa dari Lord (Zac Goldsmith) bahwa kenaikan suhu di muka bumi ini tidak terelakkan,” ujar dia.

 

Pada 2015, untuk kali pertama kali, suhu udara rata-rata dunia naik 1 derajat celsius. Kenaikan suhu itu mendorong 55 negara di dunia, termasuk Indonesia menandatangani The Paris Agreement. Isinya, negara negara itu sepakat untuk menahan kenaikan suhu rata-rata dunia agar tak melebihi 1,5 persen.

 

Pada kesempatan yang sama, Direktur Keuangan PLN Sinthya Roesly mengatakan proses untuk memensiunkan PLTU sudah mulai dilakukan. PLN mendata dan menganalisis PLTU mana yang sudah siap untuk dipensiundinikan. “Kami menggunakan multicriteria analysis yang dibantu konsultan independen, juga lembaga donor,” kata dia.

 

Banyak aspek yang harus dilihat sebelum memensiunkan PLTU. “Bagaimana refinancing-nya (pembiayaan kembali), utangnya, juga ekuitasnya,” kata dia.

Tak hanya itu, PLN juga melihat aspek yang lebih luas dari sebuah PLTU. “Kita harus berpikir tentang orang-orang yang selama ini bergantung padanya,” ujar dia.

 

Sebuah PLTU bisa beroperasi tidak hanya berkat peran dari pegawai/pekerjanya, tetapi juga berkat peran sopir-sopir truk pemasok batubara. Selain itu, keberadaan PLTU biasanya mampu menggeliatkan perekonomian warga di sekitarnya.

 

Namun, sekali lagi, transisi energi adalah sebuah keniscayaan. Butuh dukungan dari berbagai pihak untuk mencapai ekonomi hijau yang diharapkan.

 

Salah satunya dari PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan infrastruktur. “Kami menyediakan skema pembiayaan yang bisa mendukung transisi energi. Kami ingin mewujudkan transisi energi secara berkelanjutan, adil, dan affordable (terjangkau),” kata Direktur Utama PT SMI (Persero) Edwin Syahruzad.

Dari kiri, Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra, Direktur Keuangan PLN Sinthya Roesly, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, Direktur Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha PT Pertamina (Persero) A. Salyadi Dariah Saputra, dan Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) Edwin Syahruzad.

 

Dampaknya Luar Biasa

 

Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha PT Pertamina (Persero) A Salyadi Dariah Saputra mengatakan bahwa transisi energi memiliki multiplier effect (efek berganda) yang luar biasa.

 

Dia mencontohkan produksi bioetanol sebagai bahan baku biofuel. Misalnya, Solar B30 yang menggunakan komposisi 30 persen bioetanol dan 70 persen solar.

 

Bioetanol sendiri dibuat dari bahan-bahan nabati. Salah satunya, tebu. Artinya, produksi bioetanol menjadi sebuah peluang besar bagi perkebunan tebu, baik yang dikelola oleh negara maupun masyarakat.

 

“Di Brasil, (komposisi) etanolnya (dalam setiap bioetanol) bisa 50 persen. Tapi, bayangkan, kalau kita bisa 15 persen saja, berapa banyak impor yang bisa dikurangi? Lalu, berapa banyak lapangan kerja yang bisa terserap?” kata dia.

 

Itulah ekonomi hijau yang sebenarnya. Sebuah gagasan yang tidak sekadar “ramah lingkungan”, tetapi juga memberi dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat dan negara.

 

Melihat luas wilayah, kualitas tanah, hingga iklim yang relatif bersahabat, Indonesia harusnya bisa menjadi negara produsen bioetanol nomor satu di dunia. “Kita akan mampu menjadi leader dalam transisi energi. Banyak pihak yang berharap pada Indonesia,” kata Sinthya Roesly.