Kejahatan siber menjadi masalah serius bagi dunia perbankan tanah air. Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), selama periode Semester I-2020 hingga Semester I-2021 saja, serangan siber membuat perbankan mengalami kerugian senilai Rp 246,5 miliar.
Bahkan, secara global, nilai kerugian akibat kejahatan siber terbilang fantastis. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memperkirakan angkanya mencapai Rp 1.420 triliun per tahun.
“Selama beberapa tahun terakhir, risiko dari ancaman dan insiden siber telah muncul sebagai isu yang berkembang di sektor perbankan,” kata Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat, dalam keterangannya secara virtual, beberapa waktu lalu.
Serangan siber memang semakin masif dari tahun ke tahun. Menurut data Badan Siber dan Sandi Negara, sepanjang 2021 telah terjadi 1,6 miliar anomali track atau serangan siber. Meningkat lebih dari tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang “hanya” 495 juta serangan siber.
Serangan siber itu meliputi malware, trojan activity, hingga information gathering atau pengumpulan informasi untuk mencari celah keamanan. Adapun, serangan siber lebih banyak menyasar sektor pemerintahan dan keuangan.
Tanpa ada upaya nyata untuk mencegahnya, kasus serangan siber bisa jadi akan semakin masif di tahun-tahun mendatang. Apalagi, seiring dengan semakin cepatnya transformasi digital, di mana layanan keuangan bisa diakses kapanpun dan dimanapun.
“Transformasi digital perlu diimbangi dengan manajemen risiko yang memadai. Termasuk dalam mengelola keamanan siber,” jelas Teguh.
Salah satu hal yang sering ditekankan oleh OJK maupun perbankan kepada masyarakat adalah soal pentingnya menjaga data pribadi. Meliputi PIN ATM, Kode One Time Passwords (OTP), maupun Card Verification Value (CVV).
Para pelaku kejahatan siber biasanya mengincar data-data pribadi lewat berbagai tipu daya. Mulai dari berpura-pura sebagai pegawai bank yang menawarkan upgrade ke nasabah prioritas, sampai tawaran agen laku pandai.