Digital Transformation atau transformasi digital adalah sebuah keniscayaan. Semua negara, semua sektor industri mau tidak mau, suka tidak suka harus mendigitalisasi sistem hingga layanannya.
World Economic Forum, dalam laporannya menyebut bahwa digitalisasi itu bisa memberi manfaat tambahan sebesar 100 triliun dolar Amerika Serikat (AS) bagi perekonomian dunia di tahun 2025.
Tak hanya itu, transformasi digital juga diperkirakan mampu menurunkan emisi hingga 20 persen pada sektor industri yang selama ini menjadi penyumbang terbesar pencemaran lingkungan.
Sayangnya, saat ini, tidak semua sektor siap bertransformasi. Menurut World Economic Forum, sekitar 87 persen perusahaan di dunia masih menganggap bahwa digitalisasi bisa mendisrupsi usaha mereka. Dan hanya separuh dari perusahaan-perusahaan itu yang menyiapkan diri untuk transformasi digital.
Itu juga terjadi di Indonesia. Di mana belum semua sektor siap untuk melakukannya.
Data dari Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) pada 2020 lalu menunjukkan bahwa, ekonomi digital baru memberikan kontribusi sekitar 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Meski begitu, ekonomi digital dinilai memiliki prospek cerah dalam beberapa tahun ke depan. Optimisme itu terlihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, di mana asumsi kontribusi ekonomi digital akan ditingkatkan dari 3,17 persen di tahun 2020 menjadi 4,66 persen di tahun 2024.
Sektor e-commerce, salah satu primadona era digital, juga diyakini bisa mencatatkan transaksi senilai Rp 600 triliun di tahun 2024.
Nah, upaya untuk mencapai target itu turut “terbantu” dengan adanya pandemi COVID-19. Di mana pembatasan kontak fisik membuat banyak sektor usaha bermigrasi dari offline ke online.
Dari hasil survei Nielsen, pada 2020, konsumen marketplace di Indonesia mencapai 17 juta orang. Tapi kemudian angka itu melesat menjadi 32 juta orang di tahun 2021.
Transformasi digital juga terlihat dari kebiasaan masyarakat yang semakin familier dengan sistem pembayaran non-tunai. Bagi banyak orang, e-wallet menjadi aplikasi yang wajib terunduh di ponsel pintar mereka.
Morgan Stanley dalam surveinya mengungkapkan bahwa penggunaan dompet digital di Indonesia melonjak tajam di masa pandemi. Dana float (dana yang tersimpan di dompet digital) meningkat dari 50 miliar dolar AS di tahun 2018 menjadi 100 miliar dolar AS di tahun 2020.
Meningkatnya dana float itu juga berbanding lurus dengan jumlah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang go digital.
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa, pada 2019, hanya ada 3,7 juta UMKM yang sudah mendigitalisasi usahanya. Namun, pada 2021 lalu, jumlah itu melesat menjadi lebih dari 13 juta UMKM.
“Kami punya target sampai 2024 UMKM on boarding di digital sampai 30 juta (unit usaha),” kata Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam keterangan tertulisnya.
Transformasi digital tak hanya melulu soal UMKM menjual produknya di e-commerce, atau memanfaatkan layanan pembayaran digital. Tapi juga meluas hingga soal permodalan yang lebih mudah dengan memanfaatkan fintech-fintech terpercaya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa, perkembangan ekonomi digital menghadirkan peluang-peluang baru bagi perekonomian tanah air.
Nilai ekonomi digital di Indonesia diprediksi bisa mencapai 146 miliar dolar AS di tahun 2025. Nilai itu setara dengan Rp 2.260 triliun dengan kurs saat ini.
Demi memaksimalkan potensi ekonomi digital, maka pemerintah berupaya mempercepat transformasi.
“Mempercepat transformasi digital adalah kunci untuk membuka potensi kita dalam daya saing global dan pembangunan jangka panjang, memberdayakan masyarakat dan bisnis untuk meraih peluang pasar baru. Terutama untuk pemulihan pasca pandemi,” kata Airlangga, dalam rilis resminya.
Berbicara mengenai transformasi digital, sejatinya tak melulu soal bisnis.
Sektor pendidikan misalnya. Transformasi digital di sektor pendidikan berlangsung cepat di masa pandemi. Di mana banyak orang semakin terbiasa untuk mengikuti kelas-kelas online.
Lalu, transformasi digital pada pemerintahan membuat layanan-layanan publik bisa berjalan lebih efisien.
Melihat betapa banyaknya manfaat dari digitalisasi itu, maka pemerintah melakukan upaya akselerasi transformasi dengan beberapa hal.
Dari sisi infrastruktur, pemerintah terus melakukan pembangunan jaringan serat optik, menara base transceiver station (BTS), pusat data dan high throughput satellite (HTS) hingga jaringan 5G.
Kemudian dari sisi sumber daya manusia (SDM), transformasi itu akan didorong lewat penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai bagian inti dari kurikulum pendidikan, kejuruan, hingga program pelatihan untuk para pekerja.
Tapi, berbicara soal transformasi digital, tidak hanya melulu soal hal baik. Transformasi digital juga membawa banyak konsekuensi negatif.
Belakangan, seiring meluasnya penggunaan media digital, makin tumbuh subur pula konten-konten negatif dan hoaks. Lalu, serangan siber juga cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Belum lama ini, perusahaan keamanan siber Kaspersky mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi lebih dari 11 juta serangan siber selama kuartal pertama di tahun 2022.
Juli lalu misalnya, situs web Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) diretas hacker. Peretasan itu terjadi tak lama setelah Menkominfo memblokir sejumlah aplikasi seperti Steam dan Epic Games.
Situs-situs pemerintah, baik itu yang ada di pusat maupun daerah, memang rentan mendapatkan serangan dari hacker.
Juru Bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Anton Setiawan berharap ada peran dari pihak lain untuk membantu pemerintah mengatasi serangan siber. “Pihak lain yang dimaksud termasuk industri, akademisi, dan masyarakat,” kata dia.
Apalagi bila serangan siber itu mengganggu layanan umum, hingga menyebabkan kerugian material dalam jumlah besar. (*)